Monday 21 April 2014

Tami, Seorang Hamba Pendosa yang Akan Mencintai dengan Sepenuh Hati

          Perkenalkan, saya Tami. Seorang anak dari suami istri paling mesra seantero jagat raya. Seorang siswa yang baru saja menyelesaikan ujian penentuan yang sama sekali tidak dia indahkan. Seorang anak yang suatu saat akan entah masuk ke syurga atau neraka. Insan hasil kreatifitas sang Pangeran yang entah di ciptakan untuk apa. Selviani Nurul Utami, Tami manusia dengan dedikasi tinggi dengan ketiadaan bukti.

         
          Tidak ada yang salah dalam diri saya, termasuk pendidikan dasar yang biasa disebut sosialisasi dalam keluarga. Saya seorang siswa SMA dengan jurusan sosial yang pastinya sangat mengenal apa itu sosialisasi karena memang saya mempelajari. Dalam sosiologi, seorang anak yang berperilaku menyimpang boleh jadi karena orang tuanya acuh, lingkungan buruk dan hal-hal di luar kemuliaan lainnya. Tapi saya tidak. Maaf, bukan saya tidak menyadari penyimpangan dari diri saya. Yang saya maksud, saya tidak mengalami faktor-faktor yang menjadikan perilaku menyimpang seperti yang sudah saya ulas tadi.
         
          Keluarga saya baik, tidak ada yang salah. Nenek, Kakek, semuanya oke. Lingkungan sekitar saya juga sama. Tidak ada yang menonjol seperti narkoba, pelacuran atau apapun dengan bau kontroversial. Namanya juga anak SMA, paling menyimpang ya berkata anjing seolah-olah itu gaya yang harus dilakukan dimanapun mereka berada. Namun saya juga tidak, -hanya sekali-sekali, paling. Tidak sesering teman-teman yang mewajibkan kata-kata itu meluncur dalam setiap ucapnya. Jadi, bisa dikatakan bahwa sosialisasi saya sempurna tanpa satu cacat apapun. Lantas, apa yang saya alami? Ah, entahlah. Biar saya ceritakan. Dan mungkin anda bisa menanggapi.
         
          Begini, saya termasuk manusia yang gemar sekali beropini. Jika saya setuju, tentu saya katakan iya. Bila tidak, jangan harap saya seolah-olah menyukainya. Dalam artian bila saya tidak setuju ya saya bicara. Tidak ada pencitraan, menjaga perasaan atau hal-hal manusiawi untuk tetap menjaga silaturahmi. Saya ya begini adanya. Orang suka, silahkan. Kalau tidak? Hahaha, peduli setan. Dunia ini tidak hanya dipenuhi manusia-manusia sebelah mata. Siapa yang dekat dengan saya, sudah pasti tau apa yang saya lakukan. Dan memang jika melalukan sesuatu saya pasti mempertimbangkannya terlebih dahulu. Termasuk dengan Mama, satu nyawa yang sebenarnya sangat berharga untuk saya.
         
          Sering saya berdebat dengan Mama. Perihal apapun. Penting atau tidak. Kadang saya merasa seperti anak pembangkang yang kala mati pasti malaikat dengan senang hati membuang saya ke neraka. Kadang saya begitu nestapa saat menyadari kata-kata saya mungkin menyakitinya. Namun apa? Mama saya jelmaan Nabi Ayub dalam perihal kesabaran. Mama benar-benar sabar menghadapi saya.
         
          Jika mempercayai kepercayaan Jepang, mengenai hari lahir. Saya adalah seorang Api. Dan Mama seorang Air yang sejatinya memang tidak akan bersatu. Mama termasuk manusia yang dapat menunjukan kasih sayang dengan sepenuh hati. Lain halnya dengan saya yang enggan terlihat begitu lemah dengan picisan-picisan cinta. Cara mencitai saya berbeda. Jika saya cinta, akan saya perlakukan seseorang itu dengan kasar. Dengan buruk. Dengan acuh dan seolah tak peduli. Padahal saya sendiri tersakiti dengan hal demikian. Apa daya, terlalu geli untuk mengungkapkan cinta. Bertolak belakang dengan orang yang saya benci. Saya cenderung memuji dan menjilatinya dengan sukarela. Ma, teteh sayang mama pake cara teteh yang mungkin mama ngga tau.
         
          Misal, saat tau Mama sakit. Mama ngomong yang nggak-nggak dan teteh ngga suka. “Teh, liat kamu punya ibu teh penyakitan. Bentar lagi juga mati. Jangan digalakin”  hati teteh sakit, Ma. Sesek. Tapi depan Mama? “Cik atuh ngomong teh yang bagus. Mikirin yang jelek wae. Optimis atuh jadi orang teh” seolah bodo amat soal penyakit. Seolah Mama matipun nggak apa apa. Hahaha, itu depan Mama. Dibelakang? Seorang Tami yang paling anti air matapun kebanjiran air mata. Pada saat mata pelajaran sekalipun.
         
          Coba tanya temen-temen semua. Muhasabah dengan tema kematianpun Tami enggan terlihat lemah dengan air mata. Yang lain nangis aku  berusaha untuk enggak. Tapi saat Mama sakit. Temen sebangku teteh tau teteh nangis. Padahal udah ditahan, padahal udah berusaha dilupakan. Tapi? Mata merah, sembab, kalau itu luka mungkin udah berdarah-darah. Di tambah lagi teteh tau dirumah teteh ngga akan bisa jaga Mama dengan baik. Itu tadi, teteh cenderung kasar sama orang yang teteh peduliin. Yang nyata-nyatanya pengen teteh sayangi.
         
          Sebenarnya apa tujuan Tuhan melahirkan saya di bumi? Toh saya ngga meminta untuk dilahirkan. Orang tua saya yang minta? Ah, mereka salah meminta. Untuk apa meminta seorang anak yang dipercayai sebagai anugrah namun nyatanya menjadi beban bahkan membuat Mama pesakitan?
         
          Untuk apa sebenarnya saya diciptakan? Perihal apa yang membuat tuhan dengan sukarela meluangkan sedikit waktunya untuk membuat manusia yang seharusnya binasa seperti saya? Untuk apa Tuhan menciptakan manusia yang nantinya tidak akan mencicipi syurga? Untuk apa, Tuhan? Hahaha, saya seperti orang bodoh dengan berbicara kepada Tuhan. Tuhan sibuk, mana mungkin jawab pertanyaan pertanyaan saya itu. Untuk sekedar menghambapun saya langka. Pastilah Tuhan berpikir bahwa saya seorang pendosa yang sudah seharusnya di abaikan. Pikiran saya berkecamuk, selalu tentang itu. Tentang hidup yang katanya indah namun sampai sekarang saya masih belum menyukainya.
         
          Pertentangan dalam diri saya begitu kuat. Selalu mampu buat saya malu. Malu dengan sikap Mama yang benar-benar saya kagumi. Belum lama ini, saya tidak memegang uang sedikitpun. Kemudian mampir Gramedia untuk membeli novel. Saya berniat untuk meminjam uang kepada Mama. 300.000 untuk 6 bacaan yang bisa menghibur saya saat liburan. Mama menuruti. Selesainya, Mama membelikan Hoka-hoka Bento untuk saya dan adik-adik menahan lapar. Tidak dengan dirinya. Malu, saya malu. Sudah pinjam uang, di beri makanan dan pemberinya sedang dalam rasa lapar yang tak tertahankan –mungkin. Hanya untuk anak-anaknya. Hanya untuk saya yang sama sekali tidak menghargainya. Hanya untuk saya yang kerap kali menyakiti hatinya. Hanya untuk saya yang berlama-lama saat ia meminta satu saja pertolongan. Mungkin saya manusia jelmaan setan.
         
          Jujur, saya seorang hamba pendosa dengan investasi dosa yang kaya raya. Saya jarang berdoa. Jangankan menyebut nama Mama, untuk diri sendiri saja tak pernah. Sampai pada saatnya Ujian penentuan mengusik hidup saya. Hari pertama, Mama mendoakan saya lewat status BBMnya. Hari kedua, juga sama. Begitu juga hari ketiga dan selanjutnya. Hati saya bergetar, sebegitu berhargakah saya untuk Mama? Atas hal apa? Toh dalam diri saya tidak ada yang patut di banggakan. Toh saya belum pernah membuat Mama bahagia. Toh saya hanya seorang anak biasa. GR saya mulai naik, Mama sayang saya, ya? Ciee
         
          Cinta Mama menginspirasi saya. Masa iya saya akan terus begini untuk seorang yang mengasihi tanpa tapi? Masa iya saya akan tetap begini untuk seseorang yang senantiasa menengadah kepada tuhan hanya agar saya menemukan kemudahan dalam ujian? Masa iya saya tidak akan berubah atas pengorbanannya untuk saya?

          Suatu saat nanti, jerit Mama atas tingkah saya akan berubah menjadi tangis bahagia. Kesal Mama pada saya akan jadi saksi bahwa saya berusaha. Rengek saya selama ini nanti akan tiada. Mama yang merengek pada saya dan saya dengan senang hati mengabulkan. Setiap doa yang Mama cibir dalam temaram sepertiga malam terakhir akan berbuah manis dengan kesukarelaan Tuhan untuk mengabulkan. Dan semoga semesta mengaminkan.

          Satu permintaan pada pagi dalam sunyi paling sepi, yaAllah, panjangkanlah umur Mama. Umur Ayah dan semua orang yang saya sayangi. Janganlah engkau mengambil mereka terlebih dahulu. Kasihi kami dalam lingkup kasihmu yang melegenda itu. Luangkan waktumu untuk sesekali menengoki pendosa seperti aku. YaAllah, hamba menengadah dengan harapan yang tidak berkesudahan. Apalagi jika bukan perihal kebahagiaan. Semoga engkau bermurah hati mendengarkan atau lebih baik lagi segera mengabulkan. Amin


-      Tami, seorang pendosa tanpa hati -


Semoga #CintaMenginspirasi Mama dalam bentuk aksara yang saya rangkai membuahkan kebahagiaan


         
         
           

2 comments:

  1. Saya juga sering berdepat sama mama, tapi terkadanag akhirnya berpikir, ah ya mama ternyata benar.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya-pun. Tapi remaja, hahaha opini tak terbantahkan. Pertengkaran akhirnya

      Delete