Perkenalkan, saya Tami. Seorang anak dari suami istri
paling mesra seantero jagat raya. Seorang siswa yang baru saja menyelesaikan
ujian penentuan yang sama sekali tidak dia indahkan. Seorang anak yang suatu
saat akan entah masuk ke syurga atau neraka. Insan hasil kreatifitas sang
Pangeran yang entah di ciptakan untuk apa. Selviani Nurul Utami, Tami manusia
dengan dedikasi tinggi dengan ketiadaan bukti.
Tidak ada yang salah dalam diri saya, termasuk pendidikan
dasar yang biasa disebut sosialisasi dalam keluarga. Saya seorang siswa SMA
dengan jurusan sosial yang pastinya sangat mengenal apa itu sosialisasi karena
memang saya mempelajari. Dalam sosiologi, seorang anak yang berperilaku
menyimpang boleh jadi karena orang tuanya acuh, lingkungan buruk dan hal-hal di
luar kemuliaan lainnya. Tapi saya tidak. Maaf, bukan saya tidak menyadari
penyimpangan dari diri saya. Yang saya maksud, saya tidak mengalami faktor-faktor
yang menjadikan perilaku menyimpang seperti yang sudah saya ulas tadi.
Keluarga saya baik, tidak ada yang salah. Nenek, Kakek,
semuanya oke. Lingkungan sekitar saya juga sama. Tidak ada yang menonjol
seperti narkoba, pelacuran atau apapun dengan bau kontroversial. Namanya juga
anak SMA, paling menyimpang ya berkata anjing
seolah-olah itu gaya yang harus dilakukan dimanapun mereka berada. Namun
saya juga tidak, -hanya sekali-sekali, paling. Tidak sesering teman-teman yang
mewajibkan kata-kata itu meluncur dalam setiap ucapnya. Jadi, bisa dikatakan
bahwa sosialisasi saya sempurna tanpa satu cacat apapun. Lantas, apa yang saya
alami? Ah, entahlah. Biar saya
ceritakan. Dan mungkin anda bisa menanggapi.
Begini, saya termasuk manusia yang gemar sekali beropini.
Jika saya setuju, tentu saya katakan iya. Bila tidak, jangan harap saya
seolah-olah menyukainya. Dalam artian bila saya tidak setuju ya saya bicara. Tidak
ada pencitraan, menjaga perasaan atau hal-hal manusiawi untuk tetap menjaga
silaturahmi. Saya ya begini adanya. Orang suka, silahkan. Kalau tidak? Hahaha, peduli setan. Dunia ini tidak
hanya dipenuhi manusia-manusia sebelah mata. Siapa yang dekat dengan saya,
sudah pasti tau apa yang saya lakukan. Dan memang jika melalukan sesuatu saya
pasti mempertimbangkannya terlebih dahulu. Termasuk dengan Mama, satu nyawa
yang sebenarnya sangat berharga untuk saya.
Sering saya berdebat dengan Mama. Perihal apapun. Penting
atau tidak. Kadang saya merasa seperti anak pembangkang yang kala mati pasti malaikat
dengan senang hati membuang saya ke neraka. Kadang saya begitu nestapa saat
menyadari kata-kata saya mungkin menyakitinya. Namun apa? Mama saya jelmaan
Nabi Ayub dalam perihal kesabaran. Mama benar-benar sabar menghadapi saya.
Jika mempercayai kepercayaan Jepang, mengenai hari lahir.
Saya adalah seorang Api. Dan Mama seorang Air yang sejatinya memang tidak akan bersatu.
Mama termasuk manusia yang dapat menunjukan kasih sayang dengan sepenuh hati.
Lain halnya dengan saya yang enggan terlihat begitu lemah dengan
picisan-picisan cinta. Cara mencitai saya berbeda. Jika saya cinta, akan saya
perlakukan seseorang itu dengan kasar. Dengan buruk. Dengan acuh dan seolah tak
peduli. Padahal saya sendiri tersakiti dengan hal demikian. Apa daya, terlalu
geli untuk mengungkapkan cinta. Bertolak belakang dengan orang yang saya benci.
Saya cenderung memuji dan menjilatinya dengan sukarela. Ma, teteh sayang mama pake cara teteh yang mungkin mama ngga tau.
Misal, saat tau Mama
sakit. Mama ngomong yang nggak-nggak dan teteh
ngga suka. “Teh, liat kamu punya ibu teh
penyakitan. Bentar lagi juga mati. Jangan digalakin” hati teteh
sakit, Ma. Sesek. Tapi depan Mama? “Cik
atuh ngomong teh yang bagus. Mikirin yang jelek wae. Optimis atuh jadi orang teh”
seolah bodo amat soal penyakit. Seolah Mama matipun nggak apa apa. Hahaha, itu depan Mama. Dibelakang? Seorang
Tami yang paling anti air matapun kebanjiran air mata. Pada saat mata pelajaran
sekalipun.
Coba tanya temen-temen semua. Muhasabah dengan tema
kematianpun Tami enggan terlihat lemah dengan air mata. Yang lain nangis aku berusaha untuk enggak. Tapi saat Mama sakit.
Temen sebangku teteh tau teteh nangis. Padahal udah ditahan, padahal
udah berusaha dilupakan. Tapi? Mata merah, sembab, kalau itu luka mungkin udah
berdarah-darah. Di tambah lagi teteh tau
dirumah teteh ngga akan bisa jaga
Mama dengan baik. Itu tadi, teteh
cenderung kasar sama orang yang teteh peduliin.
Yang nyata-nyatanya pengen teteh sayangi.
Sebenarnya apa tujuan Tuhan melahirkan saya di bumi? Toh
saya ngga meminta untuk dilahirkan. Orang tua saya yang minta? Ah, mereka salah meminta. Untuk apa
meminta seorang anak yang dipercayai sebagai anugrah namun nyatanya menjadi
beban bahkan membuat Mama pesakitan?
Untuk apa sebenarnya saya diciptakan? Perihal apa yang
membuat tuhan dengan sukarela meluangkan sedikit waktunya untuk membuat manusia
yang seharusnya binasa seperti saya? Untuk apa Tuhan menciptakan manusia yang
nantinya tidak akan mencicipi syurga? Untuk apa, Tuhan? Hahaha, saya seperti orang bodoh dengan berbicara kepada Tuhan.
Tuhan sibuk, mana mungkin jawab pertanyaan pertanyaan saya itu. Untuk sekedar
menghambapun saya langka. Pastilah Tuhan berpikir bahwa saya seorang pendosa
yang sudah seharusnya di abaikan. Pikiran saya berkecamuk, selalu tentang itu.
Tentang hidup yang katanya indah namun sampai sekarang saya masih belum
menyukainya.
Pertentangan dalam diri saya begitu kuat. Selalu mampu buat
saya malu. Malu dengan sikap Mama yang benar-benar saya kagumi. Belum lama ini,
saya tidak memegang uang sedikitpun. Kemudian mampir Gramedia untuk membeli
novel. Saya berniat untuk meminjam uang kepada Mama. 300.000 untuk 6 bacaan
yang bisa menghibur saya saat liburan. Mama menuruti. Selesainya, Mama
membelikan Hoka-hoka Bento untuk saya
dan adik-adik menahan lapar. Tidak dengan dirinya. Malu, saya malu. Sudah
pinjam uang, di beri makanan dan pemberinya sedang dalam rasa lapar yang tak
tertahankan –mungkin. Hanya untuk anak-anaknya. Hanya untuk saya yang sama
sekali tidak menghargainya. Hanya untuk saya yang kerap kali menyakiti hatinya.
Hanya untuk saya yang berlama-lama saat ia meminta satu saja pertolongan. Mungkin
saya manusia jelmaan setan.
Jujur, saya seorang hamba pendosa dengan investasi dosa
yang kaya raya. Saya jarang berdoa. Jangankan menyebut nama Mama, untuk diri
sendiri saja tak pernah. Sampai pada saatnya Ujian penentuan mengusik hidup
saya. Hari pertama, Mama mendoakan saya lewat status BBMnya. Hari kedua, juga
sama. Begitu juga hari ketiga dan selanjutnya. Hati saya bergetar, sebegitu
berhargakah saya untuk Mama? Atas hal apa? Toh dalam diri saya tidak ada yang
patut di banggakan. Toh saya belum pernah membuat Mama bahagia. Toh saya hanya
seorang anak biasa. GR saya mulai naik, Mama sayang saya, ya? Ciee
Cinta Mama menginspirasi saya. Masa iya saya akan terus
begini untuk seorang yang mengasihi tanpa tapi? Masa iya saya akan tetap begini
untuk seseorang yang senantiasa menengadah kepada tuhan hanya agar saya
menemukan kemudahan dalam ujian? Masa iya saya tidak akan berubah atas
pengorbanannya untuk saya?
Suatu saat nanti, jerit Mama atas tingkah saya akan berubah
menjadi tangis bahagia. Kesal Mama pada saya akan jadi saksi bahwa saya
berusaha. Rengek saya selama ini nanti akan tiada. Mama yang merengek pada saya
dan saya dengan senang hati mengabulkan. Setiap doa yang Mama cibir dalam
temaram sepertiga malam terakhir akan berbuah manis dengan kesukarelaan Tuhan
untuk mengabulkan. Dan semoga semesta mengaminkan.
Satu permintaan pada pagi dalam sunyi paling sepi, yaAllah,
panjangkanlah umur Mama. Umur Ayah dan semua orang yang saya sayangi. Janganlah
engkau mengambil mereka terlebih dahulu. Kasihi kami dalam lingkup kasihmu yang
melegenda itu. Luangkan waktumu untuk sesekali menengoki pendosa seperti aku.
YaAllah, hamba menengadah dengan harapan yang tidak berkesudahan. Apalagi jika
bukan perihal kebahagiaan. Semoga engkau bermurah hati mendengarkan atau lebih
baik lagi segera mengabulkan. Amin
- Tami,
seorang pendosa tanpa hati -
Semoga #CintaMenginspirasi Mama dalam bentuk aksara yang saya rangkai membuahkan kebahagiaan |
Saya juga sering berdepat sama mama, tapi terkadanag akhirnya berpikir, ah ya mama ternyata benar.
ReplyDeleteSaya-pun. Tapi remaja, hahaha opini tak terbantahkan. Pertengkaran akhirnya
Delete