Thursday 5 February 2015

Dari: Aku. Untuk: Aku


       Tam, kamu harus bersyukur. Karena sepait-paitnya hidup, setidaknya kamu dilahirkan sebagai seorang muslim. Berada pada keluarga yang berkecukupan. Tidak sebahagia orang lain, memang. Tapi itu dulu, saat kamu merasa serba kekurangan. Sekarang kamu sudah besar. Kamu harus sadar, adalah benar kamu serba kekurangan, kurang bersyukur, kalau boleh ditegaskan.

       Tam, hidupmu harus terus berjalan bagaimanapun kondisinya. Sesedih apapun kamu, semalas apapun kamu, sebahagia apapun kamu, semalang apapun kamu, percayalah, pasti masih ada sesuatu yang layak tuk di syukuri. Bukan diratapi.

      Tami, diriku sendiri. Jangan menjadi orang lemah hanya karena tertimpa masalah. Ingat, penciptamu maha pengasih. Ia tidak akan memberikan ujian yang lebih besar dari daya titik tompangmu untuk bertahan. Ia selalu ada dimana kamu ada. Kamu yang kemana saja? Setelah Ia memberikan segala nikmat yang kamu akui keberadaannya, mengapa bisa-bisanya kamu melalaikan perintahNya?

     Pernah tidak kamu merasa sebal, kesal, setelah kamu tau, orang yang kamu anggap teman, hanya datang ketika membutuhkan bantuan? Pernah? Aku tau persis kamu pernah. Jika kamu tidak mengakui, sayang sekali. Aku hanya bisa bergidik miris.

     Menyebalkan, kan? Mungkin begitupun yang dirasakan Tuhan. Ia telah berbaik-baik, bermurah hati mencurahkan segala nikmat kepada kamu hambanya, namun kamu hanya datang disaat kesusahan. Apa bedanya dengan permasalahan teman? Jelas beda. Saat merasakan hal serupa, kamu akan segera bergegas. Mencari teman baru atau bahkan merutuki kenapa kamu bisa menganggapnya teman padahal sebelah tangan? Tidak halnya dengan Tuhan. Ia masih menganggapmu hamba dan membuka pintu maafnya hingga ajalmu tiba. Kurang baik apalagi, Dia?
   
     Aku tau kamu sedang sering sekali merasakan tidak enak hati yang tak tertahankan. Maka, aku sarankan kembalilah kepada jalan Tuhan. Jadilah hamba yang berusaha terhindar dari dosa -meski mustahil karena kamu bukan Nabi.

     Aku tau kamu sedang sangat posesif  terhadap orang rumah. Tau kamu tidak pernah melewatkan satupun nama mereka dalam sujudmu yang terlihat sederhana. Termasuk adik perempuan yang sering kali kamu abaikan. Benar, kan Tam? Harta paling berharga adalah keluarga? Kamu hanya terlambat menyadarinya. Kemarin kemana saja? Umur mereka sudah semakin berkurang dari jatah yang sudah ditentukan. Yang bisa kamu lakukan adalah menghargai setiap waktu kebersamaan. Lantas berdoa agar mereka saja yang merasakan kehilangan. Lalu diaminkan setelah doa-doa yang sedikit memaksa "Jangan ambil mereka sebelum Engkau mengambil hamba"

     Aku tau kamu akhir-akhir ini selalu menenangkan hatimu -yang takut kehilangan itu, dengan menitipkan mereka kepada sang pencipta. Aku tau kamu, -yang sedang menjalani asrama, selalu berpasrah kepada ucapan ucapan yang kerapkali engkau aminkan. Sebab apalagi yang bisa melindungi mereka selain doa?

      Kamu pernah menangis, malam-malam pada saat yang lain sudah dalam mimpinya yang pualam. Kamu membayangkan betapa durhakanya kamu sebagai seseorang yang berhutang budi banyak sekali. Merewind segala ingatan saat kamu menorehkan luka, kepada mereka sebagai orangtua. Menggali-gali kembali untuk menemukan ekspresi saat mereka ingin membuatmu bahagia, namun kamu tak menganggapnya sama seperti bayangan mereka menyaksikan tawamu yang gembira. Kamu malah menuntut ini itu yang memberatkan pundak mereka, padahal tanpa kamu tuntutpun pikulan sudah kian berat.

     Kamu membayangkan wajah Ayahmu yang keriputnya semakin banyak. Ia pemilik punggung terkokoh yang pernah kamu lihat. Pekerjaannya berat, namun ia tetap berusaha terlihat jenaka. Menghiburmu dengan cara yang tak terduga. Dengan cara yang malu-malu, ia berusaha untuk menunjukkan kasih sayangnya kepadamu. Namun, sebagai anak gadis tertuanya, kamu terlalu acuh kepada dia yang sudah berusaha menompang semua biaya.

     Kamu selalu ingin memeluk Ayahmu. Namun kamu menahannya, kamu takut air matamu jatuh pada dadanya, lalu ia menyadarinya. Kamu takut Ayahmu berpikir kamu sedang terluka atau apapun pikiran buruknya yang menerawang. Sementara pada hati yang terdalam, kamu hanya merindukannya. Kamu hanya baru sadar bahwa ia menyayangimu dengan cara yang berbeda.

     Kamu selalu tidak mau mengakui kamu merindukan Ibumu sendiri. Kamu terlalu malu padahal rindu adalah suatu hal yang tidak dapat disalahkan. Sedang Ibumu berkali-kali merindukanmu, tersungkur dalam sujud berharap anak gadis miliknya yang pertama dapat menjaga harga diri dan bertahan dengan baik-baik saja. Menumpukan harap kamu akan meneruskan cita-citanya kelak, sedang kamu hanya bermalas-malas dan bertingkah congkak lalu mengaku bahwa kamu adalah mahasiswi berprestasi nomor satu. Ia dengan jiwa ke Ibuan yang luar biasa, hanya bisa mengucap hamdalah pada statement yang salah.

     Lalu kamu tersadar, ia sudah terlalu banyak berbesar sabar. Menekan keinginannya demi memenuhi keinginan mudamu yang berkobar-kobar. Dan kamu, dengan senang hati hanya menganggap itu hal biasa yang memang sudah sepatutnya dilakukan oleh para Ibu. Tidak membayangkan apa apa saja yang menjadi keinginannya lantas ia korbankan untuk kamu sebagai tanda sayang.

      Kamu ingin meminta maaf kepada keduanya, namun apa daya nyalimu tak sebesar egomu, ternyata. Kamu lagi-lagi malu. Kamu takut terbata pada kata maaf yang sebenarnya hanya empat huruf saja. Kamu ragu bisa menyelesaikannya sebelum kedua mata tiba-tiba menganak sungai dengan sejadi-jadinya. Dengan menulis inipun, berkali-kali kamu singkilkan lengan baju untuk mengelap air matamu. Setidaknya, dengan ini mungkin permintaan maafmu bisa mereka terima, secara teori Ibumu memang sering kali membuka blog sang anak untuk sekedar tau bagaimana kehidupannya. Wajar apa tidak. Lalu diam-diam mengutarakan komentar yang seharusnya pada box komentar menjadi secara live kepada kamu, anak nomor satu.


     Begitupun kepada kedua adikmu yang kerapkali kamu perintahkan ini itu. Kerap kali kamu limpahkan amarah padahal sama sekali tidak bertingkah salah. Mereka yang selalu menerima nada suara tinggimu yang menyeramkan. Padahal apa salahnya untuk merendah kepada adik sendiri? Bukan kah kalian berasal dari lubang yang sama? Istilah kasarnya kalian satu merek. Berdamailah, jadilah kakak yang pantas ditiru oleh adik-adikmu.

      Tami, ingat satu hal lagi, Kamu tidak pernah bisa hidup sendiri. Selain keluarga kamu tentu memiliki teman teman sepergaulan. Sadar atau tidak banyak diantara mereka yang tersakiti oleh becandaanmu yang kuli, atau bahkan yang dengan sengaja engkau caci maki. Dengan itu kamu meminta maaf kepada mereka walau tidak bisa satu persatu. Sebab sekarang, dalam keyakinanmu, ada atau tidak sedikit banyak orang orang yang tersakiti pasti pernah secara tidak sadar mendoakan sesuatu yang tidak baik.

     Dalam surat ini kamu terhadap dirimu sendiri menulis pesan terbuka yang ditulis dengan kesadaran yang luarbiasa. Menjadi seolah-olah orang dalam sudut pandang berbeda. Kamu dengan kerendahan hatimu bermaksud untuk meminta maaf kepada semua pihak. Baik dia yang menciptakan, keluarga, serta teman-teman seperjuangan. Kamu tidak mencantumkan permintaan maaf kepada pacarmu, sebab kamu tidak punya. Mohon maaf ya, semuanya

     Tam, kini kamu sudah meminta maaf kepada yang sudah dicantumkan, namun kepada yang tidak di cantumkan, kamu meminta maaf juga. Kamu kini harus ingat, untuk hidup yang bahagia tidak perlu harta melimpah. Aku tau kamu sering kali ingin seperti orang-orang. Pakai gadget mewah, terlihat kinclong sementara milikmu sudah usang dan ketinggalan zaman. Kamu harus ingat, kamu bukan orang kaya yang punya segalanya. Maka dari itu berusaha untuk kaya adalah tujuanmu saat ini untuk masa yang akan datang. Bukan hanya kaya, namun juga barokah. Karena aku yakin kamu tidak ingin seperti orang-orang bakhil yang menjadi sumbu sumbu neraka.

      Kamu juga harus ingat, terkadang mengabaikan seseorang adalah tidak ada salahnya. Tapi orang yang bagaimana dulu. Sebagai misal, yang membencimu. Yang mengisukan isu isu ini itu kepada rekan rekan sepergaulan lalu menjatuhkan pencitraan. Tak apa, hidup di dunia bukan hanya untuk mengurusi itu itu saja. Biarkan mereka yang membenci, fokuslah pada yang mencintai.

     Point penting terakhir, jangan sampai ada iri iri hati. Sebab iri adalah penyakit hati. Jangan mudah terpengaruh, serta jangan sungkan membuka surat terbuka dari kamu untuk kamu ini hanya agar kamu ingat apa yang sudah kamu katakan. Karena, aku beri tau saja, menjilat ludah sendiri adalah tidak menyenangkan.

      Selamat melanjutkan hidup, Tam. Semoga tidak ada lagi kegelisahan. Berbahagia dari masa ke masa. Aku menyayangimu, Diriku.





Bandung, 5 Februari 2015,





Aku kepada aku

9 comments:

  1. Replies
    1. Eh, "malaikat penjaga neraka" thanks for reading...


      If you know I mean

      Delete
  2. Maih aja kelakuan lo Tam, bikin surat sendiri, kirim sendiri, baca sendiri. Lo bagai game yang bisa dimaenin 1player doang, iya gitu. Peace ah :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. KOK GUE NGAKAK BACA INI YA TAM MAAFIN :)

      Delete
    2. Baca komen itu maksudnya :))

      Delete
    3. da Tami mah apa atuh, udah multitalent, baik hati juga, bisa satu jadi dua juga. Uwuwuw

      Delete
    4. Jangan diketawain Safira, segitu geh udah keren mau nulis, panjang lagi tulisannya. Susah itu bikinnya. Tenang Tam gue belain. Peace

      Delete
  3. bisa dibilang "penyesalan" paling nggak kita bisa ambil sedikit sebagai pelajaran :)

    ReplyDelete