Friday 12 June 2015

Untuk kamu; -yang Dulu Lelakiku

     Sudah hidup berapa lama hingga bisa-bisanya bertingkah; seolah paling di cinta nestapa? Padahal ini hanya perihal; kita ingin menjadi berhak pada bahagia yang tidak memihak? Di hujani sendu tiada henti, galau sana sini, lalu meracau hingga berdoa ya Tuhan kapan semua ini berganti? Dan menyalahkan diri sendiri, adalah bukan sebaik-baiknya solusi.

     Aku pernah, begitu bahagia, hingga tau betapa lelahnya tertawa. Melupakan sejenak luka yang terbuka menganga, oleh apa saja bertemakan penghilang derita. Terlalu muda untuk kata derita, tapi tidak terlalu tua untuk mencoba mencicipinya. Berlebihan? -mungkin. Namun ingatlah, setiap insan punya skala rasa sakitnya masing-masing. Tuhan belum sempat menciptakan standar internasional untuk hal demikian.

     Meremehkan Tuhan? Tidak. Sebab benar adanya setiap orang punya sisi kuatnya sendiri-sendiri. Sosok A, mungkin begitu tegar menghadapi semua getar getir kehidupan tanpa gentar. Sosok B, mungkin selalu mampu bangkit kembali atas apa-apa yang buatnya terseok, lalu tak bisa melakukan apapun selain bertumpu. Sosok C, mungkin keduanya. Satu hal yang pasti adalah, mereka tidak akan pernah bisa hidup sendiri -meski mengakunya mandiri.

     Butuh teman hidup? Ya. Tapi tidak sekarang. Sebab walaupun hati ini buatan Tuhan, ia selalu rentan akan kekecewaan. Takut jatuh -bersama ia yang mengaku cinta- terlalu dalam, lalu ditinggal sendirian. O, Tuan sungguh jatuh cinta bukan wahana permainan. Jatuh, luluh, utuh, seluruh, -pada satu namamu- adalah tidak se-bercanda itu.

     Jodoh memang di tangan Tuhan, tapi tolong, saat ikhtiar, jangan menganggap ajang tinggal atau meninggalkan adalah jua rencana Tuhan belaka. Keputusan tetap berada ditangan sang wayang, sayang. Tugasmu adalah berusaha mempertahankan apa yang kamu punya sekarang. Dan tugasku adalah memeluk pertahananmu karena aku tau bertahan sendirian, rasanya bak menggenggam bahagia yang dipaksakan. Pun jangan memaksakan untuk bertahan sebab keputusan tetap ditanganmu sebagai pelakon skenarionya Tuhan.

     Maaf, aku belum menjadi apa maumu. Terima kasih, sudah menyediakan apa mauku hingga melepasmu bisa lebih sulit dari melepas masa laluku. Maaf, untuk kesalahan kesalahan hingga kau tak sanggup bertahan. Terima kasih, sudah pernah bergenggaman hingga akhirnya merenggang dan perpisahan menjadi pilihan. Yang perlu ditekankan, tolong, Tuan. Jangan pernah menyederhanakan perpisahan. Sebab tidak semua hal yang pergi, bisa kembali lagi. Karena ada hal-hal yang cukup hanya terjadi satu kali saja.

    Namun tak apa, terluka adalah hal biasa, kan? Sempatkanlah bertanya pada Tuhan, seberapa sering namamu disisipkan pada doa-doaku. Aku memang bukan Ibumu, tapi aku pernah berharap menjadi Ibu dari calon anak-anakmu. Terlalu dewasa? Iya. Jika berjika-jika tentang masa depan bersamamu adalah kesalahan, dipenjarakan namun tetap bersamamu akan menjadi pilihan yang menyenangkan. Semoga berbahagia, jangan lupa tertawa, mudah-mudahan tidak menyesal dengan keputusan yang sudah ditentukan. Aku beruntung pernah dipertemukan dengan pria sebaik kamu. Pria yang pernah berkata "Kalo nyakitin doang mah, mantanmu juga bisa" -dan kamu lebih dari dia.


Dalam ke-sok bisa-an tanpa kamu,



Perempuan yang (katamu) Isi Kepalanya Menyenangkan

1 comment: